Kamis, 11 Juni 2009

Ketika Kehendak Allah Tak Dapat Dipahami


Detik demi detik pun terus berlalu. Tak terasa, waktu penantian itu tinggal sehari lagi. Menunggu saat-saat mendebarkan..

Yach, buat temen-temen kelas XII tentu dah fahm maksudnya. Besok adalah hari pengumuman hasil Ujian Nasional (UN). Semuanya pasti berharap mendapatkan hasil yang terbaik dengan nilai yang memuaskan meski sebagian besar di antara temen-temen masih ada yang agak-agak pesimis. Salah satunya karena soal-soal matematika nya yang sulit-sulit hehe.. Tapi di atas semua itu, yang jelas seburuk-buruknya nilai yang didapatkan, lulus adalah harapan utamanya. Yha, kan?

Nha, hanya saja sebelum mengetahui bagaimana hasilnya atas perjuangan temen-temen kemarin bergelut dengan soal-soal yang bikin senam otak, satu hal yang kudu disiapkan adalah kesiapan mental untuk menerima apapun hasilnya nanti. Apakah nilainya memuaskan ato tidak, apakah lulus ato tidak. Apapun hasilnya itu, insyaAllah itulah hasil yang terbaik untuk temen-temen, untuk kita semua..

Ini ada artikel buat ngisi waktu di sela-sela nunggu hasil pengumuman UN, semoga bermanfaat buat temen-temen semua. Silahkan dibaca..

Ketika Kehendak Allah Tak Dapat Dipahami

Dalam kacamata manusia, ketetapan Allah swt bisa berupa kesenangan atau kesedihan. Keberhasilan atau kegagalan. Dalam bahasa Nabi saw, itu disebut sebagai taqdir baik atau pun buruk. Keduanya harus diimani oleh seorang mukmin. Bahkan iman tidak diterima tanpa mengimani keduanya.


Dunia ini bukan milik kita, dunia ini milik Allah semata. Allah berkehendak dan punya ketetapan, tetapi siapapun tidak berhak bertanya, mengapa Allah memutuskan ini dan itu. Justru manusia lah yang kelak akan ditanya (QS. Al-Anbiya 22-23)


Terkadang, apa yang kita inginkan bisa terkabulkan. Sementara, tak jarang pula rencana yang sudah kita susun baik-baik justru gagal total. Tak mudah dicerna oleh akal manusia, mengapa rencana baik atau rencana orang baik tidak selamanya mengalami nasib yang baik. Sementara orang-orang jahat yang hanya bisa berbuat kerusakan di dunia ini, menyebarkan fitnah dan memunculkan model kemaksiatan baru, bisa dengan mudah melaksanakan rencana mereka. Justru yang terlihat mereka lah yang menguasai bumi Allah hari ini, ini bisa jadi semakin sulit untuk dicerna oleh akal kita.


Tetapi, Islam memberikan ruang untuk mengalirkan rasa bingung itu, dengan memberikan beberapa jawaban yang tidak bertabrakan dengan kadar kemampuan kita. Ruang itu adalah ruang mencoba untuk memahami ketetapan dan kehendak Allah pada diri kita, dengan melihat hikmah yang ada dibalik kehendaknya.


Setiap kehendak Allah untuk seorang mukmin selalu baik. Apapun bentuk kehendak itu. Kehendak yang menyenangkan, tentu baik untuk kita. Tetapi tidak sebatas itu, kehendak–Nya yang terlihat menguntungkan pun ternyata ada kebaikan yang Allah ’paksakan’ untuk kita. Karena memang hanya Dialah yang mengetahui hal yang terbaik untuk kita. Berikut, beberapa kemungkinan yang layak kita renungkan, tentang apa hikmah di balik ketetapan Allah atas kita.


Pertama, Boleh Jadi, Ini adalah Tangga Pengangkatan Derajat


Bagi seorang mukmin, jalan hidup itu tidak datar. Ia bertangga-tangga, bertingkat-tingkat, seperti tingkatan kualitas kaum mukminin itu sendiri.


Kehendak Allah yang bernama ujian itu disesuaikan dengan kelas kita masing-masing. Ujian itu tergantung seberapa kuat iman kita. Hanya orang-orang yang memiliki stamina iman yang kuat saja yang mampu mencapai puncaknya. Sementara mereka yang nafas imannya tipis, akan terkapar di tangga tertentu atau mungkin terjungkal kembali ke bawah. Karenanya, di sisi lain, dalam kacamata keimanan, tangga itu menunjukkan derajat kita di sisi Allah. Derajat sebagai seorang hamba Allah.


Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, ”Ya Rasulullah, siapakah yang paling berat ujiannya?” Nabi menjawab, ”Para Nabi, kemudian orang-orang yang berjalan di jalan mereka. Seorang diuji sesuai dengan kadar imannya. Jika imannya tebal, ujiannya pun sangat berat. Jika imannya tipis, dia diuji berdasarkan tingkat keimanannya. Ujian akan terus menimpa hamba hingga Allah membiarkannya berjalan di atas muka bumi ini tanpa dosa.” (HR. Tirmidzi)


Berjumpa Allah tanpa dosa? Itulah akhir dari perjalanan mendaki dari tangga ke tangga ujian tersebut. Karenanya, sebagai seorang mukmin kita harus mencoba menghayati apa rahasia di balik ketetapan Allah itu. Bila semuanya akan berujung pada ampunan Allah justru kita tidak boleh puas berhenti pada tangga itu. Harus ada upaya menaiki derajat tangga berikutnya, dengan selalu meningkatkan kerinduan menuju Allah. Seperti ungkapan Ustman bin Affan, ”Andai hati kita bersih, kita tidak akan kenyang dengan kalamullah (Al-Qur’an). Bagaimana seorang yang mencintai bisa puas dengan perkataan yang dicintainya?”


Kehidupan dan kematian juga ujian. Ketika kita ditinggal oleh orang yang kita cintai, umpamanya. Kehilangan sesuatu yang kita senangi. Atau ketika kegagalan menjegal langkah kaki. ”Perumpamaan orang beriman adalah seperti pohon itu condong, demikianlah seorang mukmin akan terus digoncang dengan ujian. Sementara perumpamaan orang munafik seperti pohon yang tidak goyah oleh angin sampai ditebang,” sabda Nabi (HR. Tirmidzi)


Angin hujan itulah yang pernah menimpa kehidupan Suhaib Ar-Rumi, saudagar kaya di Mekah. Ketika dia harus meninggalkan seluruh harta hasil cucuran keringatnya. Karena dia harus mempertahankan agamanya dengan melaksanakan perintah hijrah ke kota Madinah. Nabi saw yang mengetahui hal tersebut berkata kepada Suhaib, ”Beruntunglah perdaganganmu wahai Abu Yahya, beruntunglah perdaganganmu wahai Abu Yahya.”


Dengan ujian kehilangan kekayaan itu, derajat Abu Yahya mencapai ketinggiannya. Bahwa ia akan mendapat ganti rugi dengan perniagaan yang sangat menguntungkan di akherat kelak.


Setiap kita punya ketetapan ’derajat ujian’ yang berbeda-beda. Tetapi setiap kita harus menghayati, apa hikmah di balik ketetapan itu bagi keberlangsungan jati diri kemukminan kita, juga bagi pengharapan kita akan ampunan Allah Yang Maha Kuasa.


Kedua, Boleh Jadi, Ini Buah yang Harus Kita Petik dari Pohon-Pohon Dosa


Sebuah bencana, kesulitan rejeki, kegagalan, atau hal-hal menyedihkan, memang tidak terjadi kecuali dengan ketetapan Allah, tetapi secara manusiawi, itu semua bisa jadi hanyalah buah yang harus kita petik, dari dosa-dosa yang telah kita semai lalu kita tumbuhsuburkan.


Inilah makna lain yang harus kita renungkan. Sebab dosa tidak saja akan mengeruhkan kehidupan akhirat kita. Tetapi juga bisa mengacaukan kehidupan kita di dunia. Setitik dosa adalah duka. Bagaimana dengan segunung kesalahan dan setumpuk dosa-dosa nista? Karenanya, jika musibah datang, atau mungkin malah beruntun, atau rasanya kesialan dan kesalahan selalu menghantui kita, maka sudah saatnya kita mengoreksi diri. Dosa apakah yang kiranya menghalangi kesuksesan? Lalu setelah itu secepatnya kita sulam lubang dosa itu dengan taubat dan istighfar.


Kalau rejeki kita hari ini seperti selokan yang tak mendapat aliran air, sebagai mukmin kita tak cukup hanya menyalahkan krisis yang sedang melanda negeri ini. Kita harus melihatnya dari sisi krisis iman dan taubat. Setidaknya itu untuk kepentingan pribadi kita sendiri.


Ada korelasi yang kuat antara taubat, istighfar, dengan kemudahan hidup. Itu bisa dipahami dengan mudah, pada penjelasan Allah, seperti diajarkan Nabi Nuh kepada kaumnya, ”Maka aku ajarkan katakan keapda mereka, ’mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai’.” (QS. Nuh : 10-12)


Sebuah karunia harus dicari dengan bertaubat. Sebagaimanaia akan sirna karena dosa.


Ketetapan Allah berupa kekalahan muslimin dalam perang Hunain, hanyalah salah satu catatan sejarah yang layak menjadi pelajaran tentang kisah dosa yang berakhir dengan kehancuran.


Hari itu, Selasa. Ketika pagi masih sangat buta. Umat Islam yang menuruni lembah Hunain dengan sangat tiba-tiba dihujani panah dari berbagai arah. Mereka kocar-kacir. Sampai Rasul perlu memanggil para sahabat yang sudah tidak mempedulikan panggilan itu. Yang terpenting buat mereka ketika itu adalah lari sejauh-jauhnya dari serbuan anak panah. ”Ke sinilah wahai muslimun, aku ini Rasulullah, aku Muhammad bin Abdullah”,seru Nabi.


Allah membuka rahasia kehendak dan ketetapan-Nya untuk kaum muslimin pada peristiwa Hunain. Ya, apalagi kalau bukan dosa yang dilakukan sebagian mereka sebelum perang berkecamuk. Sebagaimana diabadikan dalam ayat, ”Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai mukmin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.” (QS. At-Taubah : 25)


Umat Islam datang dengan jumlah yang belum pernah dimiliki sebelumnya. Dua belas ribu muslimin, jumlah yang sangat besar. Sampai-sampai ada kata-kata yang terucap oleh salah seorang sahabat, ”Kita hari ini tidak mungkin kalah karena jumlah kita yang sedikit.” Kesombongan kecil yang terselip di antara pasukan muslimin itu, ternyata berdampak pada kekalahan bersama.


Pesan ini juga yang diselipkan Abbas bin Abdul Muthollib sebelum memenuhi permintaan Khalifah Umar bin Khattab agar memimpin doa istisqo’, doa meminta hujan. Abbas berkata, ”Sesungguhnya musibah (tertahannya hujan) ini, tidak mungkin tejadi kalau bukan karena dosa. Dan ketahuilah tabir penghambat itu tidak terbuka kecuali dengan taubat.”


Ketiga, Boleh Jadi, Ini Cara Terbaik untuk Meringankan Beban Dosa di Hari Kiamat Nanti


Inilah rahasia lain dari sebuh ujian, bencana, kegagalan, atau apa saja yang tidak menyenangkan. Bahwa di antara bentuk rahmat dan kasih sayang Allah untuk orang-orang beriman, adalah dikuranginya dosa mereka di dunia. Musibah yang menimpa, menjadi air yang mematikan api dosa. Hingga bisa jadi, ada orang yang dosanya banyak, tetapi ketika menghadap Allah kelak, ia datang dengan beban dosa yang ringan. Karena sudah banyak ’dibayar’ ketika masih di dunia.


Maka, kita harus menyelipkan rasa syukur, menumbuhkan kesabaran yang agung, ketika musibah datang. Siapa tahu, musibah itu adalah cara Allah untuk meringankan dosa yang sudah menumpuk dalam catatan amal kita.


Keempat, Boleh Jadi, Ini Harga Wajib Bagi Kesuksesan Lain


Boleh jadi ketetapan Allah yang tidak sejalan dengan keinginan kita merupakan harga yang harus dibayar untuk kesuksesan lain. Usaha masuk perguruan tinggi umpamanya. Kalau ternyata belum juga lulus, bisa jadi kehendak Allah kali ini agar kita membeli tawaran kenikmatan Allah yang lebih baik. Tentunya, untuk mendapatkan tawaran itu harus kita beli. Terkadang kita harus membelinya dengan musibah sebagai harganya.


Pada saat Nabi meaksanakan ibadah haji, hari itu adalah hari-hari Mina untuk melempar jumroh. Ketika itu ada seorang wanita dari suku Khots’am mengikuti beliau berjalan sambil menggendong seorang bayi. ”Ya Rasulullah ini anakku, dialah satu-satunya keluargaku yang tersisa, tetapi dia tidak bisa bicara,” kata perempuan itu mengadu. Nabi meminta air, kemudian beliau mencuci tangannya dan berkumur-kumur dengan air itu. Air kumuran itu diminumkan kepada bayi itu. Dengan ijin Allah, bayi itu tumbuh dan bisa bicara. Setelah setahun berlalu, Ummu Jundub yang menjadi saksi peristiwa itu bertanya tantang kabar anak tersebut. Orang-orang berakat, ”Dia baik-baik saja, bahkan dia memiliki kepintaran yang ada di atas rata-rata manusia.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)


Wanita itu awalnya hanya mengharap kepada Allah agar anaknya tumbuh normal. Hanya itu. Tetapi kehendak Allah bicara lain. Karena ternyata Allah menginginkan sesuatu yang lebih. Yaitu agar anak itu memiliki kepandaian yang luar biasa. Dan itu secara teknis adalah berkah dari air minum yang diberikan Rasulullah. Tetapi kepandaian itu harus dibeli. Kali ini harus dibeli dengan kebisuan yang diderita. Sementara taqdir bertemu Rasul itu harus ada di musim haji. Jadi, kebisuan selama sebelum musim haji Rasulullah itulah yang kita maknai sebagai harga yang harus dibayar. Hingga ketika harganya sudah cukup, Allah menyembuhkannya dan kehendak Allah berupa kepandaian itu pun diberikan.


Lima, Boleh Jadi, Ini Memang Lampu Kuning Pengingat agar Kita Banyak Mengaca Diri


Mungkin, saat sebuah kesulitan terjadi, kita memang sudah lama lupa cermin. Bukan cermin tempat kita melihat mula atau teman merias wajah. Tetapi cermin tempat hati mengoreksi diri. Untuk melihat apakah ada goresan-goresan hitam yang mengotori hati.


Musibah bisa mengandung makna, bahwa kita harus banyak mengaca diri. Teguran Allah ini berarti, bahwa dosa kita sudah mengkhawatirkan. Sebelum Allah terlanjur menurunkan siksaNya, harus cepat dicegah dengan mengaca diri dan bertaubat.


Ketika gempa mengguncang Madinah yang dihuni para tabi’in dan sebagian sahabat, Aisyah berkomentar, ”Gempa ini terjadi ketika perzinaan telah dilegalkan, minuman keras dikonsumsi, dan manusia sudah gila musik. Gempa ini sebagai peringatan bagi orang beriman dan adzab bagi orang kafir.”


Ya, musibah gempa bukan hanya bisa dilihat dari kaca mata alam. Tetapi juga seharusnya dilihat dari kacamata keimanan. Bahwa ketika sebuah gempa terjadi, itu artinya peringatan keras agar setiap orang beriman segera mawas diri.


Begitulah. Dari ruang-ruang seperti itulah kita bisa mencoba mengais makna lain dari sebuah ketetapan Allah. Agar pada sebuah ujian yang melelahkan, kita tetap punya kebahagiaan lain, dan bukan menambahinya dengan kelelahan lain, kelelahan karena salah menyikapi takdir dan ketetapan Allah.


(ditulis ulang dari buletin da’wah daarussalaam Rohis Kelas IPA 5, SMA N 1 Jogja 2003, dari Tarbawi 60)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

followers

RSS Subscribe